BacaJuga : Kisah Mistis Masjid Kuno Bacan yang Konon Terdapat Nisan Makam yang Tumbuh Sendiri. Karenanya, warga di sekitar Petilasan Mbah Jaya Perkasa atau yang berada di lereng gunung Rengganis paham betul dengan larangan memakai batik ini. Bahkan ditantang dibayar berapapun tak ada yang berani. Pasalnya, mereka sudah menyaksikan sendiri
Dengandemikian, jamasan pusaka lalu diartikan sebagai kegiatan mencuci senjata yang biasanya dilakukan di bulan Suro, khususnya persis di malam tanggal 1 Suro. Adanya fenomena ini, membuat penyedia jasa pencucian (warangi, red) benda pusaka ramai dibanjiri order untuk mencuci benda-benda pusaka. Seperti halnya jasa pencucian milik Sudari (40
PusakaUang Bibit. Pusaka Uang Bibit ini merupakan salah satu benda mistik uang bibit, jika anda ingin memiliki nya rejeki di tujuh penjuru akan di buka, dan insya allah hidup akan lebih senang dari sebelum nya, Peritualan Yang Special Dengan Malam Special Karna Tidak Sembarangan Dengan Ilmu Yang Beliau Miliki Sehingga Akan Berdampak Khasiat Nya Cepat Di Rasakan Oleh Pasien Yang Memahari Nya.
Profillengkap PT. PUSAKA JAYA PERKASA Kab. Bekasi: kontak,direksi, portfolio/pengalaman, produk dan layanan serta kualifikasi dan klasifikasinya. Pelajari PT. PUSAKA JAYA PERKASA Kab. Bekasi selengkapnya
Beliaumenyuruh Eyang Jaya Perkasa untuk membuat senjata pisau berbentuk harimau sebanyak tiga Buah,Dalam Tiga Warna, yaitu Kuning, Hitam, Putih. Senjata pertama yang berwarna hitam,dibuat dari batu yang jatuh dari langit yang sering disebut meteor, yang dibakar dengan kesaktian Prabu Pamanah Rasa Dalam membentuk besi yang diperuntukkan untuk
SumberDjaja Perkasa partake on Mega Build 2019 Exhibition that were Learn More. 14-03-2019 - 17-03-2019 . Phone / Fax +62 31 885 5588 +62 31 885 5799. Factory Address. Jl. Raya Pilang KM 8 No. 88. Kec. Wonoayu Sidoarjo 61273. E-mail. marketing@sumberdjajaperkasa.com. About Us. At a Glance. Message From the President Director
Tujuankami kesana hanya ingin tahu sejarah dan lokasi tempat, jgn sampai salah faham, kami tdk meminta kpd makam, kami minta hanya kepada Alloh SWT semataJg
zRwD7D. – Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu merupakan Patih dari kerajaan Sumedang Larang di masa kepemimpinan Raja Prabu Geusan Ulun. Embah Jaya Perkasa merupakan salah seorang dari empat utusan Kerajaan Padjajaran Kandaga Lante yang menyerahkan Mahkota Binokasih dan pusaka Kerajaan Padjajaran kepada Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran. Karena kesaktiannya Embah Jaya Perkasa diangkat menjadi patih dan mengabdi di kerajaan Sumedang Larang bersama tiga utusan lainnya. Yaitu Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot. Singkat Cerita, dan Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat Patih setianya Kandaga Lante. Kemudian seusai melaksanakan pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang. Prabu Geusan Ulun mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua berasal dari keturunan Sunan Gunung Jati. Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Namun, versi lainnya menyebutkan jika Ratu Harisbaya merupakan Cinta Pertama dari Prabu Geusan Ulun. Sebelum menjadi sebelum menjadi Permaisuri di kerajaan Cirebon. Ketika dalam perjalanan pulang, tanpa sepengetahuan Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Ikutnya Ratu Harisbaya menjadi pemicu gesekan antara Kerajaan Cirebon dan Sumedang Larang. Hingga akhirnya, Kerajaan Cirebon berencana akan menyerang Kerajaan Sumedang Larang. Mendengar akan adanya serang dari Cirebon itu, rupanya tidak membuat gentar Embah Jaya Perkasa yang terkenal dengan kesaktiannya dan telah menyatakan iklar setia kepada Prabu Geusan Ulun. Didalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon harus dihadang di perbatasan sebelum menyerang Sumedang Larang. Embah Jaya perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, jika dirinya berempat sanggup menghadap musuh, dan meminta Prabu Geusan Ulun untuk tidak khawatir dan jangan gentar, dan menunggu di keraton. Namun, sebelum berangkat untuk menghadap prajurit dari Cirebon, Embah Jaya Perkasa menanam pohon hanjuang di sudut alun – alun Kutamaya, sambil berkata. “Jika perang sudah selesai, lihatlah pohon hanjuang itu, kalau daunnya rontok atau pohonnya layu, berarti suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang. Tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu tanda bahwa hamba unggul di medan perang.”. Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkosa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja. Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, untuk mempertaruhkan nyawanya demi Sumedang Larang. Berkat Kesaktian Keempat Fatih Tentara Cirebon Dipukul Mundur Singkat cerita, Embah Jaya Perkasa dan ketiga rekannya terlibat perang yang dahsyat. Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon dapat dipukul mundur olehnya. Embah Jaya Perkosa terus mengejar musuhnya waktu itu, hingga makin lama makin jauh dari ketiga temannya. Setelah sekian lamanya embah Jaya Perkosa tidak kelihatan kembali, sedangkan ketiga temannya masih menunggu. Karena tidak kunjung datang, ketiga temannya pulang ke Sumedang Larang akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkosa kepada Prabu Geusan Ulun. Setiba di keraton mereka bertigamenceritakan kisah Embah Jaya Perkasa yang tidak muncul kembali setelah mengejar musuhnya yang masih hidup. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, dan memutuskan untuk memindahkan Kerajaan Sumedang Larang ke Dayeuhluhur. Sementara itu, Embah Jaya Perkosa yang tiba kembali di Kutamaya, merasa heran tidak ada seorang pun tidak ditemukannya. Waktu itu, Embah Jaya Perkasa melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Mulailah dari situ Embah Jaya Perkasa merasa marah, dan ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan kesaktiannya, Eyang Jaya Perkasa mengentakkan kakinya sekeras-kerasnya ke bumi, seketika itu dirinya sudah berdiri “ngadeg” di salah satu lereng gunung, dan tempatnya “Ngadeg”atau berdiri, tempat itu dijadikan Pangadegan. Dari Pangadegan itu, Embah Jaya Perkasa dapat melihat kepulan asap di Dayeuhluhur, yang akhirnya menyusul ke Dayeuh Luhur dan bertemu dengan Prabu Geusan Ulun. Embah Jaya Perkasa Marah dan Kecewa Setelah sampai di DayeuhluhurMbah Jaya Perkasa kemudian dirinya bertanya ke Prabu Geusan Ulun. Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam dan dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas. Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkosa marahnya kian menjadi-jadi. Saat itu terjadi pertarungan dengan Embah Nanganan dan dua orang lagi. Yaitu embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung. Setelah melampiaskan kemarahannya. Embah Jaya Perkasa kemudian meninggalkan Prabu Geusan Ulun sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga. Mbah Jaya Perkasa berjalan ke puncak bukit sambil menancapkan tongkatnya, dan disitulah Mbah Jaya Perkasa moksa atau ngahyang. Ditempat Embah Jaya Perkasa ngahiyang atau menghilang tersebut, terdapat Batu Dakon dan Tongkat Apung yang dikeramatkan.
– Sumedang memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan data kesejarahannya, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Sumedang pernah mengalami zaman prasejarah, zaman sejarah Sumedang kuno, zaman Kerajaan Sumedang Larang. Tiap zaman pemerintahan penguasa-penguasa itu meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik berupa artefak atau makam makamnya. Seperti di Makam keramat Joglo di Dusun Cipelang Rt 01 Rw 06 Desa Sukatali Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang. Di makam ini, terdapat beberapa makam leluhur Sukatali yakni Eyang Sukatali Eyang Sukma Direja atau Eyang Sunton Jaya Kusuma bin Eyang Jaya Perkasa, Eyang Parana Candra, Nyi Pandan Wangi, Eyang Pura Laksana, Eyang Jaya Laksana, Eyang Aria Pangemban Cinde, Eyang Glutuk Galung Lenggang Kencana, Eyang Gubing, Raden Dani, Nyimas Dewi Harningsih, Eyang Bunda Cuntring Manik. Makam Keramat Joglo tersebut terlihat cukup sederhana bahkan diduga belum tercatat sebagai cagar budaya. Menurut Kepala Desa Sukatali Edi Sujana melalui Kasi Kesra Abdul Ajis mengatakan, makam keramat tersebut sampai saat ini masih kerap dikunjungi peziarah dari dalam maupun luar kota. “Alhamdulillah masih ada yang berziarah ke leluhur Sukatali ini meskipun belum banyak,” katanya Rabu 2/2/2022. Ia mengatakan desa Sukatali Kecamatan Situraja merupakan hasil pemekaran dari Desa Sukaambit. “Jadi menurut catatan Sejarah dan legenda Desa Sukatali merupakan Desa Hasil Pemekaran dari Desa Sukaambit. Desa Sukatali dimana dahulunya memiliki wilayah administratif yang merupakan gabungan dari Desa Sukatali dan Ambit. Makam Keramat Joglo tersebut ada di Desa Sukatali,” tuturnya Dikatakannya, para peziarah yang datang biasanya mengirimkan doa dengan membacakan Surat Yasin. Namun Pihaknya belum bisa memfasilitasi sarana prasarana dengan sempurna di lokasi makam keramat tersebut . “Kami belum bisa memberikan fasilitas untuk para peziarah supaya terasa nyaman saat berkunjung seperti area parkir khusus, Mushola, toilet serta lampu di beberapa titik yang siap menyinari saat malam,” ujar Edi.
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Saat kepemimpinan Prabu Guru Aji Putih abad XII nama kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tembong Agung Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur. Dan pada masa zaman Prabu Tajimalela nama kerajaan diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya. ===================================================================== Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati bupati. Prabu Geusan Ulun 1580-1608 M dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi Priangan kecuali Galuh Ciamis. Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada masa kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi yang disebut sebagai Kandaga Lante untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang. Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot. Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten wadyabala Banten tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia. Pada masa itu, Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya Kandaga Lante. Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua berasal dari keturunan Sunan Gunung Jati. Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang, tanpa sepengetahuan Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang. Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung sekarang Majalengka untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur. ================================================================== Baiklah, cukup dengan informasi yang saya dapatkan dari Wikipedia. Karena saat ini, saya ingin menulis tentang penggalan kisah yang saya dapatkan dari keturunan anggota keluarga Pajajaran yang kemudian masuk ke dalam kerajaan Sumedang Larang. Saya menulis kisah ini berdasarkan penuturan seorang ibu yang bernama Lia Juanita Suherli, istri dari alm. Charles van Rijk, di mana ibu mertua ibu dari alm. Charles van Rijk merupakan keturunan dari Eyang Jaga Baya yang merupakan seorang tokoh pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Cerita ini diceritakan secara turun-temurun, dan saya merasa sangat beruntung dapat mendengarnya secara langsung. Saya mohon maaf sebelumnya jika ada kesalahan atau kekurangan pada tulisan ini dari cerita yang sesungguhnya. Diceritakan bahwa ibu dari Charles van Rijk yang bernama oma Iyot adalah putri dari Aki Adjoem nama kecil yang merupakan putra sulung dari Eyang Jaya Manggala. Eyang Jaya Manggala merupakan keturunan dari Eyang Jaga Baya yang bersaudara dengan Eyang Jaya Perkosa Sanghyang Hawu dan Eyang Terong Peot Batara Pancar Buana. Sesuai dengan informasi Wikipedia di atas, Prabu Geusan Ulun bersama dengan Kandaga Lante mengunjungi Cirebon. Dan kemudian Prabu Geusan Ulun membawa pulang Ratu Harisbaya. Pada saat itu Prabu Geusan Ulun telah memiliki seorang permaisuri bernama Ratu Kencana Wungu. Ratu Kencana Wungu setelah mengetahui bahwa Prabu membawa seorang Ratu baru yang kemudian dinikahinya meninggalkan kerajaan Sumedang Larang dan bertapa di suatu tempat. Ratu Kencana Wungu meninggalkan kerajaan dan melepas semua atribut kerajaannya karena tidak menginginkan Prabu Geusan Ulun memiliki dua orang Ratu. Ratu Kencana Wungu mengganti namanya menjadi Nyimas Cukang Gedeng Waru, dan beliau kemudian mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Salah seorang dari Kandaga Lante, yaitu Eyang Jaya Perkosa yang pulang belakangan mengetahui bahwa Ratu Kencana Wungu telah meninggalkan kerajaan. Eyang Jaya Perkosa yang saat itu menjadi kaget dan sedih karena kepergian Ratu Kencana Wungu, bertanya pada adiknya yang adalah Eyang Jaga Baya. Percakapan yang sesungguhnya dalam bahasa Sunda, namun saya menulisnya dalam bahasa Indonesia. Percakapan dalam tulisan ini adalah percakapan yang mewakili percakapan yang sesunguhnya terjadi. “Mengapa adik membiarkan hal ini terjadi? Mengapa adik membiarkan Ratu pergi dari kerajaan?” Eyang Jaga Baya menjawab, “Saya tidak berani, karena Prabu telah berkehendak demikian menikah dengan Ratu Harisbaya”. Eyang Jaga Baya tentu merasa kesulitan untuk menentang dan menghalangi kepergian Ratu Kencana Wungu. Namun, Eyang Jaya Perkosa menjadi marah setelahnya dan berkata, “Kalau begitu adik tidak pantas untuk berada di sini!” Seketika itu juga Eyang Jaya Perkosa menendang Eyang Jaga Baya hingga 5 km jauhnya. Namun, karena Eyang Jaga Baya juga memiliki kesaktian yang tinggi, Eyang mendarat dengan kedua kaki berdiri di sebuah tempat yang kemudian diberi nama Nangtung. Nangtung memiliki arti berdiri dalam bahasa Indonesia. Sejak saat itu, Eyang Jaga Baya menetap di Nangtung begitu juga dengan keturunannya. Nama asli dari Eyang Jaga Baya hingga saat saya menulis cerita ini tidak tercantum pada tulisan dalam Wikipedia di atas. Saya tidak tahu mengapa? Mungkin karena Eyang Jaga Baya memiliki nama lain yang saya belum dapatkan informasinya atau karena hal lain. Yang pasti nama Jaga Baya merupakan nama keprajuritan yang memiliki arti sebagai berikut, Jaga = menjaga, Baya = marabahaya. Jadi, sesuai dengan namanya Eyang Jaga Baya memang bertugas untuk menjaga dari suatu marabahaya. Eyang berjaga di daerah Cadas Pangeran pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun yang saat itu merupakan pintu masuk menuju kerajaan Sumedang Larang. Museum Geusan Ulun
Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu adalah salah satu Patih Kerajaan Sumedang Larang saat diperintah Raden Angka Wijaya atau lebih dikenal sebagai Prabu Geusan memakai baju batik bagi keturunan Embah Jaya Perkasa ternyata dilarang bagi keturunannya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Baca Juga Kisah Mistis Makam Medelek di Jombang yang Dianggap Sebagai Kuburan Terangker di IndonesiaKonon hal ini terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun. Tapi, mengapa ada larangan memakai batik jika berziarah ke tempat ini? Jika dilanggar, benarkah celaka akan segera menimpa?”Memang ada ada larangan tidak boleh pake batik. Dilarang atau tabu untuk pengunjung pakai batik ke atas. Ini merupakan satu simbol, bahwa ke atas ke tempat Panglima Sumedang Larangan jangan punya hati yang belang seperti batik. Siapa yang melanggar pantangan itu, akan kena bala,” ungkap Nano Sutisna, Kuncen petilasan Mbah Jaya Juga Ternyata Ini Alasan Batu Nisan Perempuan Belanda di Jogja Selalu MiringMemasuki kaki rengganis, suasana terasa mistis. Juga, ketika memasuki area petilasan Mbah jaya Perkasa. Inilah tokoh keramat Pepatih Dalem Prabu Geusun Ulun, yang bertahta di Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 1579 hingga 1801 lampau. “Yang mau ziarah atau nyekar ke Pangeran, tasnya juga harus disimpan untuk menghormati leluhur dan adat,” imbuh hawa metafisika yang kuat, larangan sangat beras bagi peziarah memakai batik, memag tidak bisa ditawar-tawar lagi. Larangan ini konon sangat erat kaitannya dengan konflik lama, antara Sumedang Larang dengan Cirebon. Dan kini, larangan itu seperti menjadi keyakinan massal, yang jika dilanggar akan membawa malapetaka. “Boleh percaya boleh tidak ya. Dulu ada yang sengaja coba melanggar pakai batik naik ke atas, eh mengalami kecelakaan. Karena dia melanggar aturan dan adat yang berlaku di sini,” tutur Nano, tanpa menjelaskan lebih lanjut kecelakaan yang Juga Kisah Mistis Masjid Kuno Bacan yang Konon Terdapat Nisan Makam yang Tumbuh Sendiri Karenanya, warga di sekitar Petilasan Mbah Jaya Perkasa atau yang berada di lereng gunung Rengganis paham betul dengan larangan memakai batik ini. Bahkan ditantang dibayar berapapun tak ada yang berani. Pasalnya, mereka sudah menyaksikan sendiri suasana mencekam yang muncul, begitu ada yang melanggar larangan itu. “Karena menurut leluhur dan tokoh masyarakat, bisa terjadi malapetaka semacam hujan angin yang dahsyat kalo larangan itu dilanggar,” tandas Dadang, warga sekitar.
– Batu Dakon dan Tongkat Apung di Dayeuh Luhur Sumedang diyakini menjadi tempat Moksa Eyang Jaya Perkasa. Menurut Dudu 65 juru kunci situs tersebut mengatakan Eyang Jaya Perkasa Embah Sayang Hawu yang dikenal Patih Agung Kerajaan Sumedang Larang. Juga dikenal sebagai manusia gagah tiada tanding sakti mandraguna, beliau pergi meninggalkan Prabu Geusan Ulun, yang dituju adalah Puncak Gunung Rengganis. “Kepergian beliau bertujuan untuk menyendiri atau mentafakur diri sendiri serta menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau duniawi nyirnakeun diri. Eyang Jaya Pekasa akhirnya menghilang dengan tanpa meninggalkan jasad. Hanya sebelum menghilang tilem dan ada suara gaib yang datang ke Prabu Geusan Ulun persis suara Eyang Jaya Pekasa. Isi dari suara itu yaitu, yang pertama menjelaskan peninggalan beliau Eyang Jaya Perkasa yanga da di Puncak Gunung Rengganis ialah dua buah benda yang berupa batu, yang satu bekas duduknya, yang menurut para ahli sejarah disebut batu dakon, hingga sekarang masih ada dan suka diangkat oleh para penziarah,” jelasnya Kamis 10 Maret 2022. Ia mengatakan, batu angkat jungjung atau batu Dakon peninggalan eyang Jaya Perkasa diyakini oleh sebagian orang mempunyai beberapa keistimewaan. “Menurut cerita, batu dakon Batu Pamongkanan itu mempunyai keistimewaan. Yaitu kalau kebetulan waktu diangkat terasa ringan. Maka Insya Allah yang dimaksud oleh yang mengangkat batu tersebut akan mudah tercapai dan begitu juga sebaliknya,” imbuhnya Lebih jauh ia mengatakan, ada cara-cara yang harus di taati oleh para peziarah jika ingin mengangkat batu tersebut. Selain Batu Dakon Peninggalan Eyang Jayaperkasa Adalah Sebuah Tongkat Yang Tidak Menyentuh Tanah “Cara mengangkat Batu Dakon Baca Istighfar 3 x, Sholawat 1x, lalu baca laa haulaa walaaquwaata Illabillahil aliyyil adsim” 1 x, dan batas mengangkat minimal sampai pusar sebanyak 3 x. ini sekedar cerita sepuh, kita boleh percaya boleh tidak,” tuturnya Ia mengatakan, selain batu Dakon peninggalan Eyang Jayaperkasa adala sebuah tongkat yang tidak menyentuh tanah. “Yang kedua berupa tongkat dengan tinggi 182 CM dan Madelin 27 Cm. Menurut cerita orang Para Sesepuh Dayeuh Luhur, batu yang berdiri itu pada dulunya tidak kena pada tanah terangkat dari tanah ± 30 Cm itu ditumpuk batu-batu kecil hingga kelihatan merapat dengan tanah dan sekarang batu tersebut dipagar ini dimaksudkan supaya konsentrasi pada penziarah tidak terganggu dan keamanan batu tersebut. Batu yang beridir tersebut menurut para ahli sejarah disebut batu Menhir,” imbuhnya Ia berpesan siapapun yang hendak berziarah harus dengan hati yang suci. “Selanjutnya berupa amanat Eyang Jaya Perkasa yang berbunyi. Barang siapa dari keturunan kerajaan ataupun yang lainnya yang maksud berziarah ke Eyang Jaya Perkasa. Tidak diperbolehkan membawa hati yang kotor berniat jahat, penuh dengan iri dengki, hasud dan lain sebagainya,” pungkasnya. Perlu diketahui Istilah moksa sendiri, sering didengar dalam agama Hindu dan Buddha. Yang memiliki arti kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan.
pusaka eyang jaya perkasa